Bertani, Impian di Masa Depan

Saya memang selalu merasa menjadi bagian dari alam. Memang kampung halaman saya bukan di desa di mana masih banyak rumah dengan pekarangan luas dan tanaman hijau rimbun, serta sawah di depan pandangan mata. Tinggal di pemukiman kota memang rumah yang "mepet-mepet" dengan halaman pas-pasan. Namun alhamdulillah rumah orang tua saya di belakang termasuk cukup luas untuk sekedar menanam beberapa pohon, membuat kolam ikan kecil, dan memelihara ayam. Itu memang sudah menjadi wajib karena ayah saya sangat hobi menanam pohon dan memelihara ternak.

Namun, dengan tinggal di kota kecil seperti Jember, meskipun di perkotaan yang namanya sawah tidak terlalu asing bila dibanding kota seperti Jakarta atau Surabaya. Tidak seberapa jauh dari rumah dan masih bisa ditempuh dengan jalan kaki, masih ada pekuburan dan persawahan di mana saya sering menghabiskan masa kecil untuk bermain dengan teman-teman, atau ketika ikut melihat sawah dengan orang tua. Ya, selain ayah sebagai pegawai negeri, orang tua juga mengandalkan penghasilan dari berkebun dan bersawah yang diserahkan kepada petani penggarap, sehingga saya juga cukup mengenal yang namanya bertani.

Kedekatan saya dengan pertanian juga karena ayah saya seorang dosen ilmu pertanian. Saat saya masih TK ayah sering memperkenalkan saya nama-nama tumbuhan dengan bahasa latinnya.Di samping itu, tempat liburan favorit saya waktu masih kecil dulu adalah di rumah nenek, yang ada di sebuah desa di Banyuwangi. Di sanalah saya menghabiskan waktu untuk berpetualang di sawah dan sungai.

Karena masa kecil yang seperti itu mungkin yang membuat saya merasa dekat dengan alam. Gejalanya misalnya, ya saya lebih memilih untuk berwisata alam daripada wisata kota, kalau misalnya di Singapore saya lebih suka lihat Gardens by the Bay daripada ke Universal (bukan hanya karena gratis ya). Saya juga lebih suka wisata domestik ke pelosok daripada kota besar. Bahkan untuk film, saya juga lebih suka nonton film dengan latar pemandangan indah seperti Sound of Music atau The Hobbit daripada film futuristik.

Nah, minggu lalu nonton Interstellar, kembali lagi jiwa petani ini tumbuh. Di film ini diceritakan bahwa di masa depan pertanian menjadi profesi langka, lahan pertanian juga semakin sempit. Bahkan di situ digambarkan bahwa petani jauh lebih diperlukan daripada teknisi roket atau astronot.
Meskipun ini fiksi, namun bukan tidak mungkin beberapa puluh tahun lagi kita akan mengalami masa seperti ini. Era teknologi informasi menyebabkan manusia merasa seolah segala kebutuhannya bisa dipenuhi dengan IT. Semoga saja di masa depan akan bisa ditemukan komputer super canggih dengan printer 3D yang mampu mencetak beras yang bisa dimakan, dengan bahan baku anorganik (do you think it's possible?)

Rumah kebun - scene Interstellar
Melihat perkembangan jaman dengan pencapaian secanggih apapun saat ini, yang masih belum berubah adalah bahwa manusia masih perlu makan dari bahan baku tumbuhan dan hewan, hanya proses produksi dan pengolahannya saja yang mengalami perubahan. So it means, agriculture is definitely irreplaceable, dengan model dan cara seperti apapun itu.

Memang kebutuhan pertanian sering bertarung dengan kebutuhan tempat tinggal atau prasarana untuk manusia. Sawah-sawah yang ada di pinggiran kota semakin terdesak,dianggap tidak penting dan tidak lebih menguntungkan dibanding bila tanahnya jadi rumah atau bangunan. 



Ini juga tercermin dari pilihan masyarakat saat ini terutama di Indonesia dan negara berkembang yang lebih memilih bersekolah atau kuliah di jurusan yang berkaitan dengan IT, Teknik dan ilmu kontemporer lainnya dibanding jurusan pertanian, dengan prinsip mana yang lebih mudah dapat kerja (dan itu juga terjadi pada saya sendiri), termasuk bagi masyarakat desa yang orang tuanya petani.

Tidak bisa disalahkan juga kalau masyarakat menjadi pragmatis begitu, karena bidang pertanian seolah menjadi profesi tidak menjanjikan karena sulitanya akses pemasaran, ketidakstabilan harga, dan persaingan ketat dengan produk impor. Pemerintah indonesia memang belum pernah serius menjadikan pertanian benar-benar sebagai soko guru perekonomian. Padahal ketika gagal panen dan produk hasil pertanian lokal jatuh, seluruh negeri ikut gonjang-ganjing menerima akibatnya, tapi mungkin segelintir orang akan tersenyum manis karena mendapat keuntungan kebijakan impor disebabkan kondisi terebut.

Karena itulah saya meskipun saat ini tinggal di kota besar, namun memendam cita-cita untuk punya lahan pertanian entah itu dalam waktu dekat atau di hari tua nanti. Kegigihan beberapa pahlawan pencetus pertanian dengan memberdayakan komunitas masyarakat seperti yang dilakukan beberapa lembaga amil zakat, gerai dinar, dan komunitas bumi langit di Wonogiri membuat saya terinspirasi untuk menirunya. Semoga bisa tercapai. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MM UGM Jakarta

Tanjung Keluang

Taman Nasional Tanjung Puting