Jebakan yang bernama Zona Nyaman 1

Zona Nyaman atau "Comfort Zone" memang sering menjadi tujuan hidup seseorang. Bagaimana tidak? kalau kita tanya...siapa sih yang gak pingin hidup enak, muda bahagia, tua kaya raya, mati masuk surga? Pasti semua orang laki-perempuan, muda-tua, beragama-atheis, di belahan dunia manapun menginginkannya. Eiitss...apakah ini yang disebut comfort zone? Tentu tidak! Karena siapa yang menjamin kondisi nyaman saat ini, hari ini, tahun ini...akan berarti kondisi yang sama di tahun depan, bulan depan, minggu depan, bahkan esok hari.

Jadi, kalau comfort zone dalam arti kenyamanan saat ini saja, seharusnya tidak menjadi tujuan hidup. Kalau comfort zone sekarang menjadi potensi kita untuk muda tidak bahagia, tua jatuh miskin, dan mati masuk neraka (naazubillahmindalik) ya harus kita tinggalkan!

Hehe, rasanya terlalu keras dan kontradiktif ya ungkapan yang saya tuliskan tentang comfort zone. Padahal jujur saat ini saya juga masih menikmati comfort zone itu sebagai karyawan di salah satu perusahaan yang kata orang banyak diinginkan pencari kerja dan tergolong sustain ke depannya. Ya, gak ada salahnya kan kalau kita mensukuri dan menikmati rezeki "comfort-zone" yang sudah kita miliki ini. Tetapi bagi saya yang penting comfor zone ini tidak membuat terlena dan menjadi jebakan dalam hidup dan sisa umur yang saya tidak tahu akan diberikan sampai kapan ini.

Yang bikin gregetan bila melihat orang-orang di sekeliling yang terlena dengan kondisi ini. Memang pekerjaan di kantor sering menyita waktu, pikiran, dan tenaga kita. Tapi apakah tidak ada sedikit waktu tersisa untuk meningkatkan value kita sebagai individu dengan mempelajari hal-hal lain yang bermanfaat dan produktif? Kesibukan kantor memang sering menjadi alasan untuk manjalani aktivitas yang lain ini, padahal waktu untuk nonton film Korea sampai satu sesi ada, nonton bisokop atau kongkow sepulang kantor ada, nge-gym setelah lelah kerja di kantor ada, belanja dari mal di seantero Jakarta saat weekend ada. So, bukan masalah ada waktu atau tidaknya kan? tetapi memilih untuk memberdayakan waktu di jalan yang produktif atau konsumtif itu masalahnya.

Saya tuliskan ini di blog karena saya merasa kondisi gaya hidup masyarakat Indonesia, atau secara sempit orang-orang yang ada di sekitar saya sudah cukup memprihatinkan. Memang bekerja di Jakarta membuat capek jiwa dan raga, sehingga orang haus hiburan dan having fun. Tetapi di sini saya hanya ingin menumpahkan impian saya untuk melihat orang-orang terutama teman-teman saya menjadi lebih produktif, bermanfaat, bernilai dengan tidak hanya bekerja di kantor, terima gaji, lalu menghabiskannya untuk barang-barang konsumtif.

Bila kita ngomong wirausaha, baru mencetuskan kata-kata itu saja mungkin sudah ada yang alergi. Bahkan seorang pakar pengelola keuangan yang terkenal dengan '#finclinic' nya saja berkomentar agar miring tentang euforia wirausaha. Wirausaha memang bukan pilihan untuk setiap orang, karena mungkin memang ada yang ingin mengabdi pada perusahaan (meskipun istilah mengabdi kurang tepat bila main objectifnya adalah salary) sampai akhir hayat, atau setidaknya sampai usia pensiun. Karena setinggi apapun posisi di perusahaan jika bukan pemilik, maka posisi itu bukan untuk seumur hidup, ada batas usia pensiun yang sudah ditetapkan. Atau seseoang memang merasa lebih valueable dengan menjadi karyawan profesional daripada pemilik sebuah usaha karena skala bisnis perusahaan yang jauh berbeda. Dalam kondisi ini, maka zona nyaman sebagai karyawan mungkin memang tidak bisa ditawar. Maka yang menjadi penting adalah bagaimana memanfaatkan waktu selama masih menjadi karyawan agar tidak terjebak pada zona nyaman itu sendiri.

bersambung Jebakan yang bernama Zona Nyaman 2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MM UGM Jakarta

Tanjung Keluang

Taman Nasional Tanjung Puting